Monday, October 1, 2012

Yang Saya Tahu, Saya Adalah Indonesia

65 tahun lalu, saya tentunya belum ada di Indonesia. Saya tidak bisa menyaksikan gempita kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya setelah berabad-abad dibawah jajahan koloni Belanda dan beberapa tahun dibawah tangan Negara Jepang. Setiap peristiwa bersejarah mengenai kemerdekaan Indonesia hanya saya bisa dapatkan melalui buku-buku sejarah tebal yang kadang sedikit membosankan. Tetapi buku-buku itu mengajarkan saya banyak hal dan membuka mata saya lebar-lebar tentang betapa kayanya Indonesia akan setiap histori dan peninggalannya yang masih utuh sampai detik ini.

Bendera Indonesia masih berkibar. Kemerdekaan masih kita hirup bebas sampai detik ini. Tidak ada penjajah yang menyuruh kita untuk kerja setengah mati mengumpulkan upeti atau mengeruk hasil bumi untuk dinikmati negara lain. Tunggu, benarkah? Coba fikir lagi. Entahlah. Yang jelas, kita sudah merdeka. Ya tidak merdeka secarah harfiah, penjajah kita adalah bunglon yang bisa menyesuaikan diri  sampai-sampai kita tak sadar dia sebenarnya sedang menyamar hingga kita  tidak merasakan terjajah oleh mereka. Cari sendiri siapa dan apa bunglon-bunglon nakal itu.

Orde Lama, Orde Baru lalu Reformasi. Penduduk mulai kritis mengkritik pemerintah dengan apik, menyindir penuh nyinyir lalu menyentil centil. Sayangnya terkadang semua sindiran dan kritik itu bukan tertuju pada pemerintah saja, tapi juga membawa sebuah hal bernama “Indonesia”, negara saya.

“Ya namanya juga Indonesia, korupsi dimana-mana”

“Cuma di Indonesia yang tabung gas bisa meledak dimana-mana”

“Oh baru tahu ya SDA bisa habis? Ya itu contohnya negara kita, Indonesia”

Belum lagi lagu-lagu yang diplesetkan penuh kata sindiran yang notabenenya hanya sisi buruk dari Indonesia saja. Mana sisi baik dari Indonesia sih? Mana? Kenapa kita hanya bisa memaki, mengkritik, mengeluh dan mengeluh lagi? Okay, memang tidak banyak yang bisa kita lakukan sebagai rakyat jelata. KIta hanya bisa mengeluarkan pendapat dan aspirasi saja. Ya memang. Tapi saya muak melihat orang Indonesia yang melakukan hal-hal itu. Seakan-akan, kita yang memiliki negara ini saja benci setengah mati dengan negara ini, lalu apa kabar orang di luar sana? Orang yang kita sebut sebagai penduduk dunia lainnya? Bagaimana mereka melihat negara kita kalau kita sendiri hanya peduli dengan sisi jeleknya saja?

Keluarga saya selalu mengambil filosofi telur. Telur boleh berbau anyir dan amis di dalamnya, tapi dari luar, telur itu harus selalu terlihat sempurna. Orang tak perlu tau betapa busuknya isi telur itu, yang orang harus liat adalah kesempurnaan bentuk telur dari luar sehingga nilai jual telur itupun masih tinggi. Dan hal ini saya pegang teguh untuk rasa nasionalisme saya terhadap negara saya, Indonesia.

Intinya, coba jangan terlalu banyak mencaci-maki dan sering mengeluh tentang Indonesia. Malu. Tahan diri toh bisa kan?  Setidaknya lakukan sesuatu dahulu baru berbicara. Orang yang berbicara jelek seperti menyindir, mencaci-maki dan menyentil tapi tidak berbuat apa-apa tak akan terlalu didengar. Tapi orang yang sudah melakukan sesuatu dan mulai sedikit angkat bicara karena rasa kecewanya kemungkinan besar akan ditanggap sebagai bentuk penghargaan atas apa yang telah dia perbuat.

Saya memang belum melakukan apa-apa. Karena itulah saya selalu mencoba untuk tidak menyentil, menyindir dan mengeluh tentang negara saya. Negara saya adalah Indonesia. Dan yang saya tahu, Indonesia adalah saya, saya adalah Indonesia. Maka, jika saya menyentil, mencaci-maki dan menyindir Indonesia, itu berarti saya menginjak-injak harkat dan martabat diri saya sendiri.

Dirgahayu Indonesia, Jayalah selalu untuk selama-lamanya.

Singapore, 17 Agustus 2010
 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0