65 tahun lalu, saya tentunya belum ada di
Indonesia. Saya tidak bisa menyaksikan gempita kemerdekaan Indonesia
untuk pertama kalinya setelah berabad-abad dibawah jajahan koloni
Belanda dan beberapa tahun dibawah tangan Negara Jepang. Setiap
peristiwa bersejarah mengenai kemerdekaan Indonesia hanya saya bisa
dapatkan melalui buku-buku sejarah tebal yang kadang sedikit
membosankan. Tetapi buku-buku itu mengajarkan saya banyak hal dan
membuka mata saya lebar-lebar tentang betapa kayanya Indonesia akan
setiap histori dan peninggalannya yang masih utuh sampai detik ini.
Bendera Indonesia masih berkibar.
Kemerdekaan masih kita hirup bebas sampai detik ini. Tidak ada penjajah
yang menyuruh kita untuk kerja setengah mati mengumpulkan upeti atau
mengeruk hasil bumi untuk dinikmati negara lain. Tunggu, benarkah? Coba
fikir lagi. Entahlah. Yang jelas, kita sudah merdeka. Ya tidak merdeka
secarah harfiah, penjajah kita adalah bunglon yang bisa menyesuaikan
diri sampai-sampai kita tak sadar dia sebenarnya sedang menyamar hingga
kita tidak merasakan terjajah oleh mereka. Cari sendiri siapa dan apa
bunglon-bunglon nakal itu.
Orde Lama, Orde Baru lalu Reformasi.
Penduduk mulai kritis mengkritik pemerintah dengan apik, menyindir penuh
nyinyir lalu menyentil centil. Sayangnya terkadang semua sindiran dan
kritik itu bukan tertuju pada pemerintah saja, tapi juga membawa sebuah
hal bernama “Indonesia”, negara saya.
“Ya namanya juga Indonesia, korupsi dimana-mana”
“Cuma di Indonesia yang tabung gas bisa meledak dimana-mana”
“Oh baru tahu ya SDA bisa habis? Ya itu contohnya negara kita, Indonesia”
Belum lagi lagu-lagu yang diplesetkan
penuh kata sindiran yang notabenenya hanya sisi buruk dari Indonesia
saja. Mana sisi baik dari Indonesia sih? Mana? Kenapa kita hanya bisa
memaki, mengkritik, mengeluh dan mengeluh lagi? Okay, memang tidak
banyak yang bisa kita lakukan sebagai rakyat jelata. KIta hanya bisa
mengeluarkan pendapat dan aspirasi saja. Ya memang. Tapi saya muak
melihat orang Indonesia yang melakukan hal-hal itu. Seakan-akan, kita
yang memiliki negara ini saja benci setengah mati dengan negara ini,
lalu apa kabar orang di luar sana? Orang yang kita sebut sebagai
penduduk dunia lainnya? Bagaimana mereka melihat negara kita kalau kita
sendiri hanya peduli dengan sisi jeleknya saja?
Keluarga saya selalu mengambil filosofi
telur. Telur boleh berbau anyir dan amis di dalamnya, tapi dari luar,
telur itu harus selalu terlihat sempurna. Orang tak perlu tau betapa
busuknya isi telur itu, yang orang harus liat adalah kesempurnaan bentuk
telur dari luar sehingga nilai jual telur itupun masih tinggi. Dan hal
ini saya pegang teguh untuk rasa nasionalisme saya terhadap negara saya,
Indonesia.
Intinya, coba jangan terlalu banyak
mencaci-maki dan sering mengeluh tentang Indonesia. Malu. Tahan diri toh
bisa kan? Setidaknya lakukan sesuatu dahulu baru berbicara. Orang yang
berbicara jelek seperti menyindir, mencaci-maki dan menyentil tapi
tidak berbuat apa-apa tak akan terlalu didengar. Tapi orang yang sudah
melakukan sesuatu dan mulai sedikit angkat bicara karena rasa kecewanya
kemungkinan besar akan ditanggap sebagai bentuk penghargaan atas apa
yang telah dia perbuat.
Saya memang belum melakukan apa-apa.
Karena itulah saya selalu mencoba untuk tidak menyentil, menyindir dan
mengeluh tentang negara saya. Negara saya adalah Indonesia. Dan yang
saya tahu, Indonesia adalah saya, saya adalah Indonesia. Maka,
jika saya menyentil, mencaci-maki dan menyindir Indonesia, itu berarti
saya menginjak-injak harkat dan martabat diri saya sendiri.
Dirgahayu Indonesia, Jayalah selalu untuk selama-lamanya.
Singapore, 17 Agustus 2010