Monday, October 1, 2012

Saya Suka Teman Papa

Sore ini, saya baca ulang pesan singkat yang tersimpan di akun situs jejaring sosial milik saya. Pesan singkat yang menyimpan ribuan makna dan arti bagi saya dan dia.

Pesan itu singkat sekali, isinya : “Foto tampilan kamu bagus. Saya suka.”

Saat itu, saya merasa sangat asing dengan si pengirim, baik namanya maupun fotonya. Namun saat saya lihat tempat dia bekerja, saya langsung tahu bahwa si pengirim pasti kerabat kerja papa saya. Akun itu menjelaskan bahwa si pemilik adalah seorang lelaki kelahiran tahun 1973 yang kolom Status-nya kosong.

“Oh, teman papa.”

Itu adalah satu-satunya respon yang saya dapat saat melihat akunnya. Saat tau dia bekerja di perusahaan yang sama dengan Papa, saya sudah merasa cukup jelas. Setidaknya saya tahu dia bukan orang iseng yang asal-asalan mengirim pesan ke sembarang orang dengan maksud yang tidak jelas.

Karena tau teman papa, saya langsung balas pesan pendeknya hanya dengan satu kata, “Terimakasih”. Saya pikir pesan itu hanya stop sampai disitu, ternyata hanya selang beberapa menit saja saya menerima pesan lagi dari orang yang sama. Isinya “Have a nice Saturday Night, princess!”.

Jujur, saat itu saya agak kaget. Saya mikir, siapa sih orang ini? Ko merasa begitu dekat sama saya?.  saya fikir dia pasti kenal dengan saya. Setidaknya dia tau pasti saya anak kerabat kerjanya. Mungkin saya pernah ketemu sama dia tapi anehnya saya ga ingat apapun tentang orang ini. Selain pertanyaan tadi, saya punya keyakinan kalau orang ini pasti punya merek ponsel yang sama dengan saya karena dia membalas pesan itu dengan cepat. Salah satu keunggulan ponsel ini adalah koneksi internet yang bisa menghubungkan ke aplikasi situs jejaring sosial yang sangat naik daun saat itu. Keunggulan lain yang tak kalah hebat yaitu ponsel ini mempunyai aplikasi semacam messenger untuk sesama pengguna ponsel yang bisa terhubung hanya dengan saling memiliki nomor pin ponsel masing-masing.

Akhirnya, masih dengan alasan “teman papa”, saya balas lagi pesannya. “Thanks, have a nice Saturday, too. wah pake BB ya?” .  tak lama, saya dapat balasan lagi darinya. Isinya “Iya, boleh tukeran pin?”.

Oh Tuhan, saat itu saya benar-benar ga tau harus gimana. Saya bukan tipe orang yang dengan mudah kasih pin saya ke orang lain. Namanya juga pin, pasti sifatnya rahasia. Tapi sekali lagi, alasan “teman papa” membuat saya ga enak kalo ga kasih. Akhirnya dengan setengah hati, saya kasih nomor pin saya dan singkatnya, kami berteman di aplikasi itu.

Setelah sukses berteman, dia yang pertama kali menegur saya. Tahap perkenalan pasti yang pertama kali kami lakukan. Akhirnya dari tahap perkenalan itu saya tahu dia memang kerja di tempat yang sama dengan papa saya namun beda divisi. Mereka tidak terlalu dekat, hanya sekedar tau nama. Hal lain adalah ternyata dia adalah seorang ayah dari dua anak kembar dan tentunya sudah beristri. Wah, saya langsung takut saat tau itu. Langsung aga kaku dan jaga jarak. Gimanapun, saya perempuan dan saya sedang berbicara dengan “suami orang”. Yang paling mengejutkan sih sebenernya bukan itu. Saat saya tau dia teman papa, saya sudah bisa nebak dia pasti sudah menikah. Yang agak mengejutkan itu umurnya. Umurnya sama persis dengan umur mama saya dan tidak jauh dari umur papa saya. Saat itu dia berumur 37 tahun dan saya 18 tahun. Wow, haha saya sekarang berteman dengan orang yang 19 tahun lebih tua dari saya.

Aplikasi itu memang membuat komunikasi jadi lebih mudah, mendekatkan yang jauh bahkan yang asing. Seperti halnya saya dengan dia. Setelah kami berteman, kami jadi sering chatting satu sama lain. Awalnya canggung, itu pasti. Tapi ternyata setelah saya ngobrol sama dia, orangnya asyik, humoris, ceria dan ramah. Saya ga merasa canggung ngobrol sama dia biarpun beda usia kita 19 tahun. Saya panggil dia ‘Mas’. Saya ga mau panggil dia ‘Om’ karena kesannya nakal banget. ‘Om’ itu konotasinya udah jelek aja deh, apalagi buat pertemanan dia dengan saya. Saya jadi merasa garis perbedaan usia saya dengan dia semakin tebal kalo saya panggil dia ‘Om’.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin dekat dengan dia. Frekuensi kita ngobrol jadi lebih sering dan lebih intim. Bukan intim “macem-macem” loh, maksudnya udah bukan sekedar obrolan basa-basi seperti orang yang baru kenal. Tukeran foto itu hal yang wajib setiap harinya. Karena udah agak dekat, akhirnya lelaki ini mulai memberanikan diri untuk mengajak saya kopi darat. Saya bingung saat itu. Saya takut nanti pas ketemu dia “macem-macem“-in saya seperti berita di koran tentang ‘Om-Om genit’. Saya kan ga niat macem-macem, cuma pengen kenal aja sama dia. Akhirnya saya tolak permintaan dia dengan halus, tentu saja dengan berbagai macam alasan. Sekali, dua kali.. sampai ga kerasa sudah hampir 3 bulan saya berkomunikasi intens dengan dia tanpa saling ketemu.

Yang saya suka dari dia, dia ga pernah maksa buat ketemu kalo saya ga mau. Dia bukan typical om-om genit yang menggoda atau ngajak saya berbuat macam-macam. Sesekali dengam becandaan sih ada, tapi caranya sopan dan ga membuat saya merasa tersinggung dengan candaan nakalnya. Hal lain yang paling saya suka, dia tidak menganggap saya anak kecil. Dia ga meremehkan saya. Bahkan menurut pengakuan dia, saya cukup dewasa untuk anak seumuran saya. Kita sering diskusi, bercanda, bergurau hampir setiap hari. Hal-hal itu juga saya temui di sosok Papa saya. Ya, Papa kandung saya. Saya sangat dekat dengan Papa dan sangat amat menyayanginya. Papa musuh dan teman terdekat saya. Sama humorisnya dengan si Mas, sama pintarnya dengan si Mas, sama hebatnya dengan si Mas, sama suksesnya dengan si Mas,sama bijaksananya dengan si Mas. Singkatnya, saya menemukan sosok Papa di diri si Mas.

Setelah 3 bulan berlalu, dia pergi berlibur dengan keluarganya ke Beijing. 3 minggu saya tidak berkomunikasi dengan dia. Anehnya, saya merasa ada sesuatu yang janggal. Kepergian dia membuat saya sadar satu hal, saya merasa kehilangan. Saya rindu luar biasa dengan sapaan paginya dan salam hangatnya di malam hari. Saya menyadari sesuatu, saya suka dia. Saya butuh dia. Ada yang hilang saat dia tidak ada. Akhirnya setelah 3 minggu tidak berkomunikasi, tepat jam 12 malam saya ditelvon oleh nomor telvon dengan kode asing. Saat saya angkat ternyata itu dia! Dia telvon dari airport Beijing untuk mengabari saya kalo besok pagi dia akan tiba di Jakarta. Dia  bilang dia kangen luar biasa sama saya sampai-sampai dia berusaha keras untuk mencari kesempatan agar bisa menelvon saya tanpa sepengetahuan istrinya hanya untuk mendengar suara saya. Oh, manis sekali sikapnya..

Dua hari setelah malam itu, rumah saya kedatangan satu paket mawar merah yang dikirimkan untuk saya. Pengirimnya tanpa nama. Hanya ada sebuah kartu dengan tulisan “Saya rindu kamu, Matahariku” diakhiri dengan goresan tanda tangan dengan inisial “K”. ‘Si Mas‘, fikirku.  K adalah inisial namanya. Saya ga nyangka dia akan kirim bunga. Rumah saya dengan rumah dia itu seperti dari Timur ke Barat. Kami juga sampai detik itu belum saling tatap muka. Tapi sikap dia sangat manis melebihi orang yang hanya saling mengenal. Saya tau…. dia menyukai saya seperti saya menyukai dia. Perasaan saya terhadap dia jadi semakin tumbuh. Semakin besar. Rasanya saya ingin melihat sosoknya dari dekat tapi otak rasional saya masih menolak untuk bertemu langsung. Ada perang batin antara hati dan otak. Hati ingin bertemu dengannya, otak masih waras untuk menghindari perbuatan tercela. Hati ingin lebih mencintainya, otak masih pintar untuk mengingatkan saya bahwa dia sudah beristri. Oh Tuhan…

Tak lama dari peristiwa kiriman bunga, Si Mas mengajak saya nonton sebuah konser mini Jazz di sebuah kafe di bilangan Jakarta. Saya dan dia sama-sama pecinta Jazz. Kita sama-sama suka membaca. Karena saya suka dengan pemusik itu dan kebetulan jadwal saya kosong, akhirnya saya jawab “iya”. Saya siap bertemu dengannya. Singkatnya, pertemuan itu terjadi. Saya janjian ketemuan di tempat itu. Duh, canggung sekali awalnya. Kami hanya saling melirik dan menjaga jarak. Tapi setelah konser itu berjalan, hubungan kami semakin cair. Sudah ada canda dan tawa seperti yang biasa kami lakukan di chatting.

Setelah konser habis, dia mengajak saya makan, tempatnya saya yang pilih. Malam itu saya ngajak  dia makan di warung pinggir jalan untuk memberi tahu siapa diri saya sebenarnya. Saya bukan anak yang suka makan di tempat mewah. Asal bersih dan enak, kaki lima bukan masalah buat saya. Ternyata, dia mau makan disitu! Luar biasa, saya berhasil ngajak seorang Bos Divisi makan di pinggir jalan. Hahaha… senang sekali rasanya. Selesai makan, dia berniat mengantar saya pulang. Saya coba nolak dengan halus. Saya fikir dengan mengantar saya pulang, kesempatan dia untuk berbuat macem-macem dengan saya itu terbuka. Saya menolak dengan alasan rumah yang cukup jauh. Sayangnya, dia jauh lebih pintar dari saya. Dia tau alasan sebenarnya saya menolak tawaran dia. Dengan penuh kasih sayang, dia bilang “Dear, udah malam. Biar mas antar pulang. Ga akan ngapa-ngapain ko. Percaya deh..”.

Waaaah, dua kalimat terakhir itu benar-benar menjatuhkan harga diri saya. Saya malu…. Niat baik dia saya anggap macam-macam padahal memang sudah jelas dia orang yang ga macam-macam. Selama konser aja dia ga menyentuh saya sedikitpun padahal kesempatan terbuka banget. Suasana romantis, gelap, sepi. Wah, kalo emang dia genit seengganya dia bisa genggam tangan saya tapi buktinya dia ga melakukan itu bahkan saat saya hanya berdua dengannya di dalam mobil. Kami hanya ngobrol dengan hangat. Sesekali sih dia membelai halus rambut saya. Saya suka kelembutannya. Setelah obrolan tak henti sepanjang jalan, akhirnya saya tiba di rumah. Hal terakhir yang dia lakukan adalah….. mencium kening saya. Sungguh itu rasanya luar biasa. Saya seperti kehilangan nafas dengan jiwa melayang ke angkasa. Saya merasa begitu hangat berada di dekatnya, saya merasa begitu familiar dengan sosoknya saat dia mencium kening saya. Seakan-akan saya berada dekat sekali dengan Papa.

Saya ga mampu bilang apa-apa. Saya hanya mampu lihat matanya dan bilang “Terimakasih”.  Kata “Terimakasih” itu sekali saya ucapkan dari mulut saya tapi belasan kali saya ucapkan dalam hati.

‘Terimakasih Mas sudah ngajak saya nonton malam ini’

‘Terimakasih sudah mau makan di pinggir jalan’

‘Terimakasih tidak menyentuh saya sedikitpun’

‘Terimakasih sudah mencium kening saya’

‘Terimakasih sudah membuat saya mencitai Mas dengan tulus…’

Saya makin yakin saya jatuh cinta dengannya. Apalagi setelah malam itu, saya dan dia malah makin mesra. Seakan-akan tidak ada perbedaan umur, seakan-akan dia tidak mempunyai istri dan dua anak kembar  yang lucu. Sesekali saya pernah merasa bersalah. Tidak harusnya saya seperti ini. Saya ga mampu membayangkan gimana rasanya kalau suami saya nanti diam-diam ada main dengan seorang gadis kecil. Pasti sakit kalo tau kebenaran itu. Sebagai manusia, saya juga takut karma. Saya takut suami saya nanti seperti itu. Tetapi perasaan ingin memiliki dia seutuhnya terkadang muncul di fikiran saya. Saya suka dia apa adanya. Tulus dan murni. Bukan karena kekayaan atau apa lah, tapi karena sosok dia seutuhnya.  Sosok seorang yang menghargai keputusan saya, sosok yang tidak pernah menganggap saya anak kecil, sosok yang menyayangi saya apa adanya dan sosok yang suka memberikan kejutan manis setiap harinya. Perasaan itu makin dalam sampai-sampai saya pernah loh tulis di buku harian saya sebuah kalimat yang cukup mengejutkan. Tulisan itu begini, “Tante Riasti, suami mu buat saya aja ya. Saya suka kok anak kembarmu. Saya janji akan merawat mereka dengan baik dan tulus”. Gila ya? Sedalam itu perasaan saya dengannya. Saya sudah mabuk cinta sampai akal fikiran saya acuhkan, hanya hati yang saya izinkan menguasai diri.

Namun mungkin Tuhan menyayangi saya, Tuhan membuat lembaran cerita baru yang harus saya lakonkan. Saya keterima di sebuah Universitas di negara tetangga. Saat saya tau berita itu saya langsung cerita ke dia, eh dia malah dukung saya. Dia mau saya kuliah setinggi-tingginya.  Dia dukung keputusan saya untuk sekolah di luar. Untuk hubugan kita berdua, dia berjanji dia tidak akan berubah. Dia akan selalu berusaha merajut komunikasi dengan saya bahkan berjanji kalau ada kesempatan dia akan mengunjungi saya. Saat hari keberangkatan tiba, pesan terakhir yang dia katakan adalah “Kamu harus tau ya kalo Mas sayang dan cinta sama kamu dengan tulus. Saya pasti akan rindu sama kamu. Jaga diri, jangan nakal dan jangan lupa solat”. Saat membaca pesan itu, lantas dalam hati saya berkata, ‘Oh Tuhan.. Saya makin jatuh cinta. Saya takut jarak antara saya dan dia akan menjauh. Saya ga mau kehilangan dia.’

Setelah menetap disini, dia menetapi janjinya. Dia masih menghubungi saya. Dia minta saya untuk mengirimkan alamat dan nomor telvon saya. Kita masih komunikasi walaupun tidak seintens dulu. Kali ini medianya adalah situs jejaring sosial yang baru-baru ini naik daun tapi berbeda dengan situs tempat saya mengenal dia. Dia secara tak terduga suka mengirimkan pesan rahasia yang membuat saya senang luar biasanya. Isinya romantis, penuh perhatian, humoris, seperti hal pesan-pesan dia sebelumnya. Tapi ya seperti yang saya bilang tadi, Tuhan sepertinya menyayangi saya,.Tuhan ga mau menjadikan saya perusak rumah tangga orang. Tuhan ga mau membuat saya sangat mencintai seseorang dengan kesemuan semata, tanpa jaminan apapun. Tuhan ga mau membuat Papa kecewa saat tau saya merajut asrama dengan kerabatnya.

Tapi sampai saat ini perasaan saya ga berubah. Saya masih menyukainya bahkan lebih dari suka. Saya rindu luar biasa sosok hangatnya yang selalu menemani saya setiap hari. Dan bodohnya, saya ga merasa saya salah telah begitu mencintainya, cinta itu tak kenal alasan untuk status dan usia. Salahkah saya?

Cinta saya murni.. bukan karena harta.
Cinta saya tulus.. tanpa memandang status dan usia.
Cinta saya mendalam karena ternyata dia mirip sosok seorang Papa.

-Antara Realita & Fiksi belaka
Singapore,20 Maret 2010
 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0