“Dia itu bajingan! Dia cuma mau memanfaatkan kamu dengan keegoisannya. Dia cuma ingin menikmati tubuhmu!”
Aku diam.
“Kamu hati-hati. Kamu tau tradisi orang barat kan?”
Aku diam.
“Kalau dia minta kau berikan semua milikmu, kamu mau kasih?”
Aku diam.
“Dia itu bangsat! Bajigan! Sudah jelas dia hanya mau memanfaatkan kamu!
Berhenti sekarang sebelum terlalu jauh dan kau yang menyesal! Dia
bajingan, Dania! Bajingan!”
‘Tapi aku suka bajingan itu, Ni. Aku suka si bangsat itu’ jawabku dalam hati.
**
Aku duduk dalam dekapannya menunggu waktu senja datang seraya menikmati
indahnya alam saat langit jingga berubah biru lalu kelabu. Angin
menyisir setiap helai rambutku yang sesekali dihirup mesra aromanya lalu
perlahan turun mengecup pipi merahku dan mencium hangat bibirku. Damai
sekali, Tuhan. Sudah lama tak kurasakan kenyamanan ini. Pantai dan dia
si pemilik mata biru itu adalah sempurna. Aku menarik bibirku untuk
tersenyum dan menyimpul senyumku lagi setiap kali aku menyadari bahwa
ini hanya cinta satu arah.
“Kita masuk ke kamar, angin sudah mulai kencang”
Aku terdiam sedikit bergetar. Takut dan terus menerka apa yang akan kami
lakukan disana. Sudah aku yakinkan diriku dan aku siap untuk itu. Dia
ulurkan tangan putih ras caucasian-nya dan aku melangkah ke arah dekapnya.
**
Dia cumbu semua kulitku, menjamahi setiap lekuknya. Matanya menyisir
mataku lalu bermain dengan deru. Aku cengkram kuat tangan kekarnya dan
mendesis tipis, menggelinjang manja. Desahan itu.. Kami. Hangatnya..
Dia.
Tiba puncak itu. Dia tatap tajam mataku dan aku temukan sebuah tanda
tanya di dalamnya. Aku yakinkan diriku dan mengecupnya pelan mengartikan
‘Aku siap, sayang‘. Dia kecup lagi aku, leherku dan aku mendesah tersengal.
“Ya, sayang.. Ya..”
Dia kembali mencium bibirku dan perlahan menatap mataku tajam. Kami diam. Dia tersenyum dalam diamku seraya berkata,
“Tidak.. Simpan itu untuk calon suamimu”
Nafas deruku perlahan pelan.
Tuhan, mengapa aku lega?
3 dari 2 dan 1