Tiba-tiba ada nada yang tergetar dalam besi hitam milik wanita
perasa. Pemberitahuan melandasnya sebuah tulang panjang penopang asa
yang gagal dalam berfiksi sempurna tapi serasa terlalu ceria untuk
menangkap sebuah makna. Lantas ada apel merah yang melaju di gundukan
daging dari besi yang membentuk rahang egonya. Landas dan janji
tersentuh utuh.
Noah salah merayu jiwa seperti kuntum sepi terbawa angin menyusuri
lampu-lampu dan jalangnya sebuah nyata. Hawa pun layaknya liar nekat
gadai nilai ruh sendiri sekedar haus jenaka dan penat dalam abu-abu
penuh bisu. Jemari bahkan tak bisa bernoda, sekedar getaran dalam sarang
di tenggorokan beralih hasil garis merah jambu yang lantas membuat
semua memuja indahkan sebuah fatamorgana. Samakah dengan sumbat jiwa
dalam aliran nadi? Sama, jelas serupa. Tak beda dengan makhluk porselen
kegirangan mereka yang bermani basah.
Big Apple katanya? Lalu mengapa hebat kalau tunduk saja masih bergilir?
Terlalu maniskah gilanya bulan? Bukan, apel yang terus parasnya jadi
tanya berjanji akan selalu menjadi rahasia. Unggulnya? Korneanya rela
menangkap waktu terabadi dalam warna yang terus tumbuh menjadi pohon
kata.
Lalu adakah ini semua berarti? Reguk jiwa spasi, kosong namun berarti.
Singapore, 30 May 2010