Monday, October 1, 2012

Kecan Untuk Sepanjang Masa

Satu pijakan kedalam lantai rumah itu meredakan nafas seorang wanita yang terperogoh dengan banyak barang bawaan di tangannya. Hujan rintik-rintik membuatnya agak sedikit berlari tadi dengan dihantui rasa heran yang luar biasa mengingat seharusnya Summer tidak turun hujan. Pikirannya makin kacau. Pesta kebun dipilih karena sesuai dengan cuaca, jangan sampai hujan malam ini menjadi pertanda harus ada rencana kedua sebagai cadangan.

Pikirannya lalu tak lagi kesitu setelah melihat sosok seorang lelaki yang sedang asyik menonton televisi di ruang tengah. Ia lalu segera pergi menghampiri.

Sudah makan malam?” tanyanya kepada lelaki itu.

Sudah 2 minggu aku lebih dulu sampai dirumah” lelaki itu bukan menjawab pertanyaan, tapi malah membuat sebuah pernyataan.

Maaf, kantor dan segala macam urusan ini membunuh waktuku”  jawab sang wanita sembari berjalan ke dapur.

Dilihatnya kulkas, ada bayam dan sedikit sayuran lagi disana. Dibukanya kitchen-set, ada sekaleng bacoon dan beberapa sosis kaleng. “Salad bayam dan bacon cukup sepertinya“, ucapnya dalam hati. Disaat sibuk menyiapkan makan malam, dia tengok jam. 10:13 pm tertulis dengan format digital disitu. Satu porsi saja, fikirnya. Terlalu bahaya untuk dirinya makan di jam malam seperti ini walaupun perut memang tak bisa berbohong. Dia tengok lagi kulkas, ternyata ada yoghurt dan juga mangga disana. Yasudah, akhirnya dia buat satu mangkok salad mangga untuk dirinya. Oh tidak, dia dia putuskan buatkan dua mangkok, satu lagi untuk dessert si lelaki.


"Aku suka bacon nya"

Lalu si wanita tersenyum, mungkin artinya “terima kasih". Sambil menikmati salad mangganya, ia ambil sebuah katalog dan membacanya.

“Tak mau coba sedikit bacon nya?”

Mata wanita itu beranjak dari lembaran majalah ke mata lelaki yang menatapnya. Dia menggeleng, 

“Tidak, terimakasih”

“Kamu keliatan lelah, jangan sampai kurang makan”

Wanita itu menjawabnya dengan senyum lagi lalu menyendokan salad mangga ke mulutnya. Dilihatnya piring yang tadi berisi bacon sudah kosong. Bayam layu pun tersisa sedikit, hanya tomat yang utuh. Dia lupa harusnya tidak usah menaruh tomat di salad tadi, asamnya dibenci si lelaki. Sambil menyendokan porsi terakhir salad mangganya dia beranjak bangun, mengambil sisa-sisa piring dan beralih ke dapur lagi untuk mencucinya. Semua dikerjakan dengan cepat seakan jarum jam sedang menuntut dia untuk berlari.

Tangannya lihai memutar-mutar sepon di bulatan piring, fikirannya melamun sana-sini. Tiba-tiba dia terhentak kaget saat tubuh mungilnya didekap dari belakang. “OH TUHAN!” dia berteriak sedikit kencang. Busa sedikit memuncah ke hidungnya dan dekapan seperti melonggar karena lompatan kecilnya.

“Ah bikin kaget saja!” teriaknya.

Si lelaki pun terkejut. Kamu berarti tidak fokus, fikiranmu bukan ke piring itu”

Si wanita diam dan tetap bermain dengan sabun dan piring-piring itu. Iya, diakuinya. Masih banyak yang harus dia kerjakan hingga menyolong waktu untuk berfikir di tengah-tengah kegiatan lain itu sekarang menjadi rutinitasnya. Urusan bunga, pekerjaan dan segala macam survey benar-benar menyita waktu.

“Besok kita pergi”

“Aku kerja”

“Besok hari Minggu nona!”

“Minggu?”

“Lupa hari?”

“Bahkan aku tak peduli tanggal. Ehm.. Okay. Selain tanggal 11 yang tak mungkin aku lupa”

“Besok kita pergi” lelaki tadi mengulangnya lagi.

Si wanita diam. Mencoba memutar otaknya akan hal yang harus dia lakukan besok hari. Kalau ada yang lebih penting, ia akan tolak ajakan itu.

“Sudah, sudah lama aku tidak mengajak kamu pergi. Kita sudah lama tidak bicara. Sebelum akhirnya kita berdua rindu dengan momen seperti itu, kita pergi besok. Lakukan hal yang biasa kita lakukan, kencan lagi seperti dulu”

Si wanita lalu menatap si lelaki. Dilihat kedua matanya dengan tajam. Matanya lalu memincing, menembus ke waktu dimana mereka berdua sering melewati waktu untuk berdiskusi, tertawa dan berjalan keliling kota. Ya, dia memang rindu masa-masa itu.

Lamunan itu pun buyar oleh kecupan halus di keningnya sebagai ucapan selamat malam. Saat lelaki beranjak pergi ke kamar tidur lebih dulu, dia langsung mempercepat gerakan putaran pada piring-piring kotor yang tersisa. Selesai. Beranjak lah ia dari dapur ke ruang tengah. Diraihnya barang bawaan tadi yang dia taruh di sofa lalu langsung memasuki kamar, membersihkan muka, mandi di pancuran hangat, berbaring di tempat tidurnya dan membuka katalog lagi. Perlahan gambar-gambar di katalog sirna, gambar mulai kabur, tangan mulai melemas dan katalog itu pun terjatuh ke lantai seiring mata yang terpejam.


“Ke sini?”

“Ya!”

“Hahahaha”

Senyum wanita itu berkembang lebar. Matanya terbelalak besar melihat banyak perubahan yang terjadi di tempat yang dulu dia dan sang lelaki sering singgahi. Dia berlari kecil, berjalan cepat, menengok kanan kiri seakan-akan kembali ke sebuah memori yang tak pernah bisa diulangnya lagi. Dia raih tangan si lelaki untuk sedikit berlari. Mereka lalu tertawa bahagia dan wanita beranjak lupa dengan urusan kerjanya, bunga dan segala macam hal yang menghantui dirinya belakangan ini.

“Ini” Gulali! Si lelaki memberikan sebuah gulali untuk wanitanya.

Tawa menyambut gerakan tangan si wanita yang juga meraih gulali. Sambil berjalan mengelilingi taman hiburan, ia mendekap erat lengan tangan kanan sang lelaki. Mereka tertawa, mengingat sebuah waktu lampau yang sering mereka habiskan berdua disana. Kadang si wanita ini merajuk manja dan lupa bahwa seusianya sudah tak lagi pantas melakukan hal itu.
.
 “Bagaimana kalau naik ini?” tanya si lelaki.


Wanita itu menggeleng manja, seperti malu. Sudah tidak pantas tentunya dia menaiki kuda - kuda plastik itu. Lelaki itu tapi masih mau. Ia masih ingin berputar di situ bersama wanitanya dan mengabadikan tawanya di sebuah kamera.

“Ayo sayang, ayo!” tangan sang lelaki menarik tangan wanita.

Wanita itu bergerak mundur, tanda menolak. Dia malu unruk singgah di atas kuda-kuda itu walaupun dulu dia selalu berharap untuk punya sebuah Carousel di rumahnya.

Akhirnya mereka lupakan Carousel itu dan memutuskan untuk terus mengitari taman hiburan.  Mereka mencoba permainan-permainan lain yang mereka sukai, menikmati ice cream, Slurpee dan kue-kue yang enak di santap di tengah teriknya sinar matahari. Mereka juga bermain di air mancur tengah taman, berpercik bersama anak-anak kecil yang bermain riang, tertawa dengan tingkah laku mereka, bernyanyi-nyanyi kecil dan mengabadikan memori ini di sebuah kartu memori kamera.

Hari semakin senja. Tak terasa sudah hampir 5 jam mereka disitu. Wanita ini lantas ingat lagi dengan segala macam hal yang tersimpan di otaknya. Bunga-bunga itu, makanan dan seluruh survey, ah, iya dia mengingatnya lagi. Rona wajahnya agak berubah dan si lelaki  bisa menangkap perbedaannya. Lelaki itupun melihat jamnya, waktu masih tersisa 1 jam lagi. Mereka lalu beranjak dari air mancur ke tengah pusat taman hiburan. Oh ada yang terlupakan ternyata, satu wahana yang belum mereka coba hari ini sepertinya sangat sempurna untuk dinaiki di  waktu senja. “Sempurna” ucap lelaki dalam hati.

“Bagaimana kalo kita naik ini?” tanya wanita itu kepada sang lelaki.

“Aku baru mau mengajakmu kesana sayang”. Dan akhirnya mereka  menuju kesana, ke sebuah roda besar yang berputar seperti dunia, seperti usia dan seperti fase hidup mereka.


Roda mulai bergerak dengan perlahan saat keduanya duduk di dalam rumah-rumah kecil yang tergantung di sisi-sisinya. Mereka duduk sangat rapat, menikmati udara yang begitu segar dan pemandangan yang dengan sangat luar biasanya terlihat indah. Roda itu berputar, seiring putaran memori yang sedang mereka berdua coba ingat.

“Kenapa waktu terbang begitu cepat” ucap sang lelaki memecah sunyi.

“Itu kodratnya” jawab si wanita.

Sang wanita lalu melihat wajah sang lelaki. Lalu tiba-tiba dia memeluknya begitu erat. Sangat erat 
seakan dia tidak ingin waktu terbang lebih cepat. Lelaki tadi pun reflek memeluk wanita itu lebih erat, dia usap rambut coklatnya dan mengecup kening juga kepalanya selagi itu masih bisa ia lakukan.

“24 tahun kau sudah menemani aku. Rasanya baru kemarin kita kesini, kau merengek ingin naik carousel saat mesinnya rusak dan selalu meminta Taco disaat tokonya sudah tutup…” si lelaki lalu berjeda, menarik nafas dan mencoba mengatur kata.

“… kau masih berkepang dua waktu itu atau berbando bunga-bunga biru muda. Summer selalu jadi jatah dress-dress pendekmu yang membuat kau terlihat sangat cantik saat menunggang kuda di  
carousel itu”

Pelukan itu terasa makin erat.

“Tapi.. ternyata waktu membuat gadis kecilku beranjak tinggi, bermain dengan bedak dan lip-stick, tersiksa saat patah hati dan berkerja giat hingga lupa hari. Hingga…. hinga.. hingga aku terperanjak kaget saat aku menyadari bahwa satu minggu lagi aku harus menuntunmu menuju Altar…”
Suara lelaki ini mulai parau. Wanita itu makin erat mendekap tubuh kekar sang lelaki. Ia lalu memejamkan matanya, berusaha untuk menjatuhkan titikan air mata yang sedari tadi menggantung disana.

Wanita itu seperti kehabisan kata-kata. Ia tak bisa mendeskripsikan betapa sedihnya senja hari ini, betapa cepatnya waktu berjalan, betapa ternyata kehadiran dirinya sungguh sangat berarti untuk sang lelaki selepas wanita yang dipanggilnya Ibu berpulang tujuh tahun lalu.

Jemari kering sang lelaki lalu menghapus air mata yang membasahi pipi merah wanita kesayangannya.

“Lagu apa yang akan kau nyanyikan nanti?”

“Lagu kita”

“Kita?”

“Ya, And I’m Tellling You I’m Not Going

“Ide bagus, aku suka”

Suasana lalu hening. Burung-burung sudah mulai pulang ke rumahnya tanda senja sudah benar-benar tiba. Lalu ada suara lagi.

“Ayah?”

“Ya?”

“Akankah Arce sehebat Matthew?”

“Matthew tidak akan rela menyerahkan anak gadis semata-wayangnya untuk lelaki yang tidak hebat, sayang”

Jawaban itu membuat wanita ini makin mencintai lelaki yang mendekapnya. Perlahan, ia lepaskan dirinya dari dekapan terhangat yang ia pernah rasakan. Roda sepertinya mulai menyentuh tanah, mungkin 5 menit lagi mereka harus turun dari sini.

“Emelie?”

“Iya?”

“Maukah kau menyanyikan lagu kita untukku sebelum kau nyanyikan itu untuk lelakimu?”

Emelie tersenyum, merangkul erat Matthew lagi untuk  sesaat. Lalu dirinya mulai duduk tegap, ia pandangi tajam mata sang Ayah yang akan mengantarnya ke Altar satu minggu lagi.

Dengan penuh cinta, Emelie lalu bernyanyi..

” And I am telling you..
I am not going..
You’re the best man, I’ll never know
There’s no way I can ever go..
No no no no way,
no no no no way I’m living without you
I’m not living without you..
I don’t wanna be free
I’m staying, I’m staying
and you, and you..
you’re gonna love me”
.
Matthew lalu memeluk erat Emelie lagi, mengecup keningnya dengan air mata yang mulai mengaburkan pandangannya. Suara itu akan selalu dia rindukan nantinya. Liriknya seakan benar-benar dinyanyikan untuk dirinya yang berkata bahwa sang gadis tak akan pergi jauh dari sisinya. Sedihpun makin menjadi seiring sadarnya bahwa anaknya tak lagi bisa menyiapkan bacoon dan salad mangga kesukaannya selepas janji sejoli terikat di hadapan Tuhan nanti.

Mereka lalu beranjak turun dari roda raksasa. Kencan ini pun sepertinya akan segera berakhir seiring permintaan Emelie untuk membeli Taco disaat toko dan arena permainan ini sudah tutup. Tidak berubah, Emelie tetap kecewa walaupun akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah tanpa Taco. Mereka berjalan berdua penuh mesra dan Emilie tak henti bernyanyi “Lagu kita” sepanjang perjalanan.

Lagu yang sama akan dinyanyikan Emelie 7 hari lagi. Tangan lelaki tua yang dia genggam erat akan mengantar Emelie menuju Altar untuk seorang lelaki yang menuggu di ujungnya. Dan cinta yang sama akan keduanya selalu ada di antara mereka. Selalu, untuk sebuah cinta Ayah kepada anak gadisnya….. dan cinta anak gadisnya kepada seorang idola sepanjang masa yang dipanggilnya Ayah.



Untuk Papa terhebat di dunia, Dinda sayang Papa.

Singapore, 13 Juni 2010
 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0