Monday, October 1, 2012

Merokok dan Makan Didenda 2 Juta Saja

Sudah beberapa tahun saya menetap di negeri Singa ini, tujuannya untuk menyelesaikan pendidikan saya. Saya dilepas sendiri oleh orang tua saat umur saya masih terlampau belia, masih belasan. Kalau kata Mba Mir, masih bau kencur.

Keadaan tanpa keluarga atau kerabat dekat membuat saya bercampur baur dengan warga asli sini atau yang biasa disebut Singaporeans. Warga asli sini sebenarnya keturunan ras bangsa lain seperti China, Melayu dan India, 3 ras terbesar itu lah yang mendominasi di negara ini. Namun seiring berkembangnya jaman, ras orang putih seperti Inggris dan Spanyol sudah mulai menguasai negara kecil ini. Belum lagi imigran dari negara tetangga sekitar seperti Filipina, Myanmar dan Indonesia. Hal itu membuat Singapore menjadi negara kecil yang terlihat besar karena perbedaannya. Mungkin karena itu jugalah pemerintah Singapura berani membuat slogan “Live Peacefully in Diversity” atau “Hidup damai dalam keanekaragaman”.

Saat saya pertama kali datang kesini, saya sibuk mencari rumah untuk tempat tinggal. Untungnya saya dibantu kenalan yang memang warga negara Singapura. Dia membantu saya cari sewa rumah lewat jasa agen properti. Saat tau itu, saya sempat menolak. Saya menolak jasa Agen. Saya fikir seperti halnya di Indonesia dan negara lainnya, kalau kita memakai jasa Agen maka saya harus membayar fee untuk jasanya dan tentunya harga sewa yang harus saya bayar akan jauh lebih mahal.

Saat tau respon saya, akhirnya teman saya menjelaskan bahwa di negara ini kita tidak bisa seenaknya sewa rumah tanpa perantara. Si pemilik rumah harus menyewa atau menjual rumah lewat jasa Agen properti resmi. Begitupun dengan calon pembeli atau penyewa, mereka harus melalui perantara bila ingin tinggal di negeri ini. Itu sudah menjadi hukum resmi di negara ini, tujuannya adalah agar tidak ada imigran gelap yang tinggal atau menetap tanpa membayar pajak ke kas negara.

Yang penting dari poin ini sebenarnya menurut saya adalah pajaknya. Negara ini terlalu kecil, pajak adalah sumber utama pendapatan mereka. Uang sangat amat “bermain” di negara ini. Mau sewa, ada pajaknya. Mau parkir, ada pajaknya dan hitungannya pun permenit. Melewati jalan, juga ada pajaknya dengan tarif berbeda yang disesuaikan oleh jam. Memang sih, semua negara notabenenya juga seperti itu, tapi mungkin karena hukum di negara ini cukup tegas, warga negara disini tidak bisa mangkir dari kewajibannya membayar pajak.

Cara membayar pajaknya pun dengan “ditodong” langsung. Untuk pajak jalan, setiap kendaraan diwajibkan mempunyai sebuah alat membayar pajak dengan kartu isi ulang. Tinggal masukan kartunya, maka nominal kartu mereka akan berkurang sebesar pajak yang harus mereka bayar. Untuk pajak parkir, setiap kendaraan diwajibkan membeli Stiker yang akan mereka letakan di kaca depan kendaraan mereka. Ada stiker untuk motor, mobil dan bus. Bentuk stiker itu mengingatkan saya dengan kertas LJK (Lembar Jawab Kuis) waktu saya masih sekolah dulu. Bentuknya seperti itu, panjang dan isinya ada bulatan-bulatan yang harus kita robek sesuai tanggal, jam dan tarif yang sudah ditetapkan saat kita parkir. Kalau di jalan besar biasanya $1 persetengah jam, kalau di kawasan perumahan atau perkantoran biasanya 50 sen persetengah jam.

Belum lagi denda. Denda disini terkenal mahal dan tegas. Ada denda jalan atau terkenal dengan nama ERP. Denda itu berlaku pada jam-jam berangkat kerja dan pulang kantor di hari biasa dan jam-jam tertentu di hari libur. Biasanya jalan-jalan yang dikenai denda adalah jalan besar atau jalan yang ramai dikunjungi di di hari libur seperti Orchard, Bugis, China Town atau Queensway. Hal itu dimaksudkan agar kendaraan tidak menumpuk di satu tempat atau katakanlah macet. Denda atau tarif ERP cukup mahal, disesuaikan oleh tempat dan waktu. Dan cara membayar dendanya juga langsung ditodong dengan kartu pajak tadi.

Selain denda jalan, ada juga denda merokok. Ini terkenal keras di Singapura. Nah, kebetulan saya punya pengalaman pribadi dengan hal ini. Saat itu saya dan teman-teman mau makan di sebuah tempat makan. Tempat makan itu bukan tempat makan mewah, tempat makan biasa seperti macamnya foodcourt. Salah satu teman saya, sebutlah namanya Galih kebetulan seorang perokok. Karena Galih pasti merokok sehabis makan, saya dan teman lain mencari meja yang diperbolehkan merokok. Di Singapura merokok benar-benar diatur secara tegas. Ada tempat-tempat yang dilarang merokok, bahkan meja pun diatur. Kalau sedang makan dan mau merokok, harus duduk di meja yang bertanda boleh merokok. Kalau tidak ada atau bertanda dilarang merokok, ya merokok dilarang disitu.

Nah, saat itu meja dengan tanda rokok sudah ditempati. Yang tersisa adalah meja tanpa tanda. Meja tanpa tanda juga berarti kita tidak boleh merokok di meja itu. Setelah melalui perdebatan kecil dengan Galih, singkatnya kami putuskan untuk tetap mengambil meja itu. Walaupun sudah tahu tidak boleh merokok di meja itu, ternyata Galih tidak tahan. Ia tetap ingin merokok.  Ia terlampau nekat walaupun kami sudah ingatkan kalau dia bisa didenda. Nasib buruknya,  Galih ketawan oleh salah satu pemilik kedai. Saat tau ada pelanggaran, si pemilik kedai langsung menelfon polisi untuk melaporkan kejadian ini. Tak lama dari itu, polisi datang. Polisi langsung mengintrogasi kami khususnya Galih.  Karena saya punya Student Pass atau kartu pengenal pelajar, saya aman disitu. Kebetulan saya bukan si pelanggar aturan. Yang apes sekali itu Galih. Dia lupa bawa Student Pass atau paspor sebagai pengenal diri.  Akhirnya untuk menyelamatkan diri, Galih beralih bahwa dia turis yang belum jeli dengan peraturan di negara ini. Untung polisi memaklumi, Galih cukup dikenai denda sebesar $300 saja. Kalau di rupiahkan mungkin sekitar Rp. 2.100.000 SAJA.

Saat itu saya kaget sekali. Alasan pertama, teman saya didenda $300 langsung di depan mata saya karena merokok di sembarang tempat yang padahal tempat umum. Kalau di Jakarta, mungkin hal ini akan biasa-biasa saja. Alasan kedua, Galih dilaporkan langsung oleh pemilik kedai yang notabenenya adalah warga negara biasa. Si pemilik belum tentu tahu kalau Galih bukan warga negara Singapura karena paras Galih agak ke-chinesean, tapi si pemilik tahu kalau Galih melanggar hukum dan harus dikenai denda.  Ini menyadarkan saya bahwa kesadaran hukum warga negara Singapura cukup bagus. Hukum pun cukup tegas.

Selain denda merokok, disini juga terkenal dengan denda makan dan minumnya. Aneh-aneh ya dendanya?? Ya memang disini apa-apa denda dan pajak, apa-apa duit. Makan dan minum disembarang tempat saja bisa dikenai denda. Saya juga punya pengalaman pribadi dengan hal ini, kejadiannya serupa dengan kejadian Galih bedanya disini saya hanya sebagai saksi.
Saat itu saya sedang berada di MRT menuju rumah. Karena sudah lewat jam pulang kantor, MRT sudah mulai sepi dan saya pun dapat tempat duduk. Saat MRT sampai di stasiun berikutnya, masuklah 2 orang India yang membawa satu paket kentang goreng, burger dan minuman soda dari restoran cepat saji milik Amerika. Mungkin karena lapar, mereka makan bawaan mereka di dalam MRT. Tiba-tiba, bapak yang duduk disebelah saya berdiri dan memperingati 2 orang India tadi bahwa makan  atau minum di dalam MRT itu dilarang dan harus didenda. Orang India itu mencoba membela diri tapi ternyata si Bapak tetap melaporkan mereka ke petugas SMRT dan akhirnya dua orang India tadi didenda $400. Singapura untung disini, setengah dari uang denda itu akan masuk ke dalam kas negara.

Kasusnya masih sama dengan kasus pertama. Mereka didenda karena melanggar hukum dan yang menyadarkan pelanggaran mereka bukan petugas hukum yang berwajib. Yang melaporkan mereka sehingga mereka didenda adalah warga biasa, warga yang sadar kalau orang disekitar mereka ada yang melanggar peraturan, warga yang peduli akan hukum negaranya.

Kesadaran akan hukum di negara ini mungkin bisa kita ikuti. Setidaknya, jangan masa bodoh kalau kita mengetahui ada yang melanggar peraturan. Laporkan, agar mereka sadar telah melanggar  peraturan dan agar yang lain takut untuk melanggar peraturan.

Singapore, 24 Maret 2010
 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0