Sudah beberapa tahun saya menetap di negeri
Singa ini, tujuannya untuk menyelesaikan pendidikan saya. Saya dilepas
sendiri oleh orang tua saat umur saya masih terlampau belia, masih
belasan. Kalau kata Mba Mir, masih bau kencur.
Keadaan tanpa keluarga atau kerabat dekat membuat saya bercampur baur dengan warga asli sini atau yang biasa disebut Singaporeans.
Warga asli sini sebenarnya keturunan ras bangsa lain seperti China,
Melayu dan India, 3 ras terbesar itu lah yang mendominasi di negara ini.
Namun seiring berkembangnya jaman, ras orang putih seperti Inggris dan
Spanyol sudah mulai menguasai negara kecil ini. Belum lagi imigran dari
negara tetangga sekitar seperti Filipina, Myanmar dan Indonesia. Hal itu
membuat Singapore menjadi negara kecil yang terlihat besar karena
perbedaannya. Mungkin karena itu jugalah pemerintah Singapura berani
membuat slogan “Live Peacefully in Diversity” atau “Hidup damai dalam keanekaragaman”.
Saat saya pertama kali datang kesini, saya
sibuk mencari rumah untuk tempat tinggal. Untungnya saya dibantu kenalan
yang memang warga negara Singapura. Dia membantu saya cari sewa rumah
lewat jasa agen properti. Saat tau itu, saya sempat menolak. Saya
menolak jasa Agen. Saya fikir seperti halnya di Indonesia dan negara
lainnya, kalau kita memakai jasa Agen maka saya harus membayar fee untuk jasanya dan tentunya harga sewa yang harus saya bayar akan jauh lebih mahal.
Saat tau respon saya, akhirnya teman saya menjelaskan bahwa di negara ini kita tidak bisa seenaknya sewa rumah tanpa perantara. Si pemilik rumah harus menyewa atau menjual rumah lewat jasa Agen properti resmi. Begitupun dengan calon pembeli atau penyewa, mereka harus melalui perantara bila ingin tinggal di negeri ini. Itu sudah menjadi hukum resmi di negara ini, tujuannya adalah agar tidak ada imigran gelap yang tinggal atau menetap tanpa membayar pajak ke kas negara.
Yang penting dari poin ini sebenarnya
menurut saya adalah pajaknya. Negara ini terlalu kecil, pajak adalah
sumber utama pendapatan mereka. Uang sangat amat “bermain” di negara
ini. Mau sewa, ada pajaknya. Mau parkir, ada pajaknya dan hitungannya
pun permenit. Melewati jalan, juga ada pajaknya dengan tarif berbeda
yang disesuaikan oleh jam. Memang sih, semua negara notabenenya juga
seperti itu, tapi mungkin karena hukum di negara ini cukup tegas, warga
negara disini tidak bisa mangkir dari kewajibannya membayar pajak.
Cara membayar pajaknya pun dengan “ditodong”
langsung. Untuk pajak jalan, setiap kendaraan diwajibkan mempunyai
sebuah alat membayar pajak dengan kartu isi ulang. Tinggal masukan
kartunya, maka nominal kartu mereka akan berkurang sebesar pajak yang
harus mereka bayar. Untuk pajak parkir, setiap kendaraan diwajibkan
membeli Stiker yang akan mereka letakan di kaca depan kendaraan mereka.
Ada stiker untuk motor, mobil dan bus. Bentuk stiker itu mengingatkan
saya dengan kertas LJK (Lembar Jawab Kuis) waktu saya masih sekolah
dulu. Bentuknya seperti itu, panjang dan isinya ada bulatan-bulatan yang
harus kita robek sesuai tanggal, jam dan tarif yang sudah ditetapkan
saat kita parkir. Kalau di jalan besar biasanya $1 persetengah jam,
kalau di kawasan perumahan atau perkantoran biasanya 50 sen persetengah
jam.
Belum lagi denda. Denda disini terkenal
mahal dan tegas. Ada denda jalan atau terkenal dengan nama ERP. Denda
itu berlaku pada jam-jam berangkat kerja dan pulang kantor di hari biasa
dan jam-jam tertentu di hari libur. Biasanya jalan-jalan yang dikenai
denda adalah jalan besar atau jalan yang ramai dikunjungi di di hari
libur seperti Orchard, Bugis, China Town atau Queensway. Hal itu
dimaksudkan agar kendaraan tidak menumpuk di satu tempat atau katakanlah
macet. Denda atau tarif ERP cukup mahal, disesuaikan oleh tempat dan
waktu. Dan cara membayar dendanya juga langsung ditodong dengan kartu
pajak tadi.
Selain denda jalan, ada juga denda merokok.
Ini terkenal keras di Singapura. Nah, kebetulan saya punya pengalaman
pribadi dengan hal ini. Saat itu saya dan teman-teman mau makan di
sebuah tempat makan. Tempat makan itu bukan tempat makan mewah, tempat
makan biasa seperti macamnya foodcourt. Salah satu teman saya,
sebutlah namanya Galih kebetulan seorang perokok. Karena Galih pasti
merokok sehabis makan, saya dan teman lain mencari meja yang
diperbolehkan merokok. Di Singapura merokok benar-benar diatur secara
tegas. Ada tempat-tempat yang dilarang merokok, bahkan meja pun diatur.
Kalau sedang makan dan mau merokok, harus duduk di meja yang bertanda
boleh merokok. Kalau tidak ada atau bertanda dilarang merokok, ya
merokok dilarang disitu.
Nah, saat itu meja dengan tanda rokok sudah
ditempati. Yang tersisa adalah meja tanpa tanda. Meja tanpa tanda juga
berarti kita tidak boleh merokok di meja itu. Setelah melalui perdebatan
kecil dengan Galih, singkatnya kami putuskan untuk tetap mengambil meja
itu. Walaupun sudah tahu tidak boleh merokok di meja itu, ternyata
Galih tidak tahan. Ia tetap ingin merokok. Ia terlampau nekat walaupun
kami sudah ingatkan kalau dia bisa didenda. Nasib buruknya, Galih
ketawan oleh salah satu pemilik kedai. Saat tau ada pelanggaran, si
pemilik kedai langsung menelfon polisi untuk melaporkan kejadian ini.
Tak lama dari itu, polisi datang. Polisi langsung mengintrogasi kami
khususnya Galih. Karena saya punya Student Pass atau kartu pengenal
pelajar, saya aman disitu. Kebetulan saya bukan si pelanggar aturan.
Yang apes sekali itu Galih. Dia lupa bawa Student Pass atau paspor
sebagai pengenal diri. Akhirnya untuk menyelamatkan diri, Galih beralih
bahwa dia turis yang belum jeli dengan peraturan di negara ini. Untung
polisi memaklumi, Galih cukup dikenai denda sebesar $300 saja. Kalau di
rupiahkan mungkin sekitar Rp. 2.100.000 SAJA.
Saat itu saya kaget sekali. Alasan pertama,
teman saya didenda $300 langsung di depan mata saya karena merokok di
sembarang tempat yang padahal tempat umum. Kalau di Jakarta, mungkin hal
ini akan biasa-biasa saja. Alasan kedua, Galih dilaporkan langsung oleh
pemilik kedai yang notabenenya adalah warga negara biasa. Si pemilik
belum tentu tahu kalau Galih bukan warga negara Singapura karena paras
Galih agak ke-chinesean, tapi si pemilik tahu kalau Galih
melanggar hukum dan harus dikenai denda. Ini menyadarkan saya bahwa
kesadaran hukum warga negara Singapura cukup bagus. Hukum pun cukup
tegas.
Selain denda merokok, disini juga terkenal
dengan denda makan dan minumnya. Aneh-aneh ya dendanya?? Ya memang
disini apa-apa denda dan pajak, apa-apa duit. Makan dan minum
disembarang tempat saja bisa dikenai denda. Saya juga punya pengalaman
pribadi dengan hal ini, kejadiannya serupa dengan kejadian Galih bedanya
disini saya hanya sebagai saksi.
Saat itu saya sedang berada di MRT menuju
rumah. Karena sudah lewat jam pulang kantor, MRT sudah mulai sepi dan
saya pun dapat tempat duduk. Saat MRT sampai di stasiun berikutnya,
masuklah 2 orang India yang membawa satu paket kentang goreng, burger
dan minuman soda dari restoran cepat saji milik Amerika. Mungkin karena
lapar, mereka makan bawaan mereka di dalam MRT. Tiba-tiba, bapak yang
duduk disebelah saya berdiri dan memperingati 2 orang India tadi bahwa
makan atau minum di dalam MRT itu dilarang dan harus didenda. Orang
India itu mencoba membela diri tapi ternyata si Bapak tetap melaporkan
mereka ke petugas SMRT dan akhirnya dua orang India tadi didenda $400.
Singapura untung disini, setengah dari uang denda itu akan masuk ke
dalam kas negara.
Kasusnya masih sama dengan kasus pertama.
Mereka didenda karena melanggar hukum dan yang menyadarkan pelanggaran
mereka bukan petugas hukum yang berwajib. Yang melaporkan mereka
sehingga mereka didenda adalah warga biasa, warga yang sadar kalau orang
disekitar mereka ada yang melanggar peraturan, warga yang peduli akan
hukum negaranya.
Kesadaran akan hukum di negara ini mungkin
bisa kita ikuti. Setidaknya, jangan masa bodoh kalau kita mengetahui
ada yang melanggar peraturan. Laporkan, agar mereka sadar telah
melanggar peraturan dan agar yang lain takut untuk melanggar peraturan.
Singapore, 24 Maret 2010